Untuk versi word, klik di sini
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kedudukan
sunnah di dalam Islam adalah merupakan sumber ajaran dan sumber hukum Islam,
sebagaimana halnya Al-Qur’an al karim. Oleh karena itu untuk memahami ajaran
dan hukum Islam, pengetahuan dan pemahaman terhadap sunnah merupakan suatu
kemestian
Maka
dari itu meninjau bahwa kita sebagai umat Muslim harus mempelajari dan
mengetahui isi kandungan Al-Qur’an dan Sunnah maka sebelum kita mempelajari
lebih dalam kita harus mengetahui fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an.
Oleh
karena itu makalah ini dibuat dengan judul “fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an”.
B.
Rumusan Masalah
Apa
fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an
C.
Tujuan
Ø Supaya mengenal
atau memahami fungsi sunnah
Ø Setelah
mengetahui fungsi sunnah, maka kita diharapkan untuk mengikuti sunnah rasul
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an
dari segi bahasanya yaitu قرأ, يقرء, اقرأ yang artinya baca,
membaca, bacalah.
Namun
menurut Ali Shobuni, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang luar biasa yang
disampaikan kepada Nabi (rasul) terakhir melalui malaikat Jibril di dalam
mushab-mushab dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-nas
dan apabila membacanya adalah merupakan ibadah.
B.
Pengertian Sunnah
Sunnah
secara etimologi berarti:
الطريتة المستقتمة والسيرة حسنة كانت أوسيّة
Jalan yang luas dan berkesinambungan yang baik atau yang buruk
C.
Fungsi Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Pada
dasarnya sunnah Nabi SAW adalah sejalan dengan Al-Qur’an, karena keduanya
bersumber dari wahyu. Menurut Al-Syathibi, tidak ada satupun permasalahan yang
dibicarakan oleh sunnah kecuali maknanya telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an, baik
secara umum (ijmali) atau secara terperinci (tafshili). Lebih
lanjut Al-Syathibi menegaskan bahwa firman Allah di dalam surat Al-Qalam ayat 4
telah menjelaskan tentang kepribadian Rasul SAW sebagai berikut:
وانك لعلي خلق عظيم. (القلم: 4).
Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Dalam
menafsirkan ayat di atas, ‘A’Isah r.a mengatakan
ان خلقه القرأن
Sesungguhnya akhlaknya (Nabi SAW) adalah Al-Qur’an
Atas
dasar itu, menurut Al-Syithibi, dapat disimpulkan bahwa seluruh perkataan,
perbuatan, dan taqrir Rasul SAW adalah merujuk kepada dan bersumber dari Al-Qur’an
Al-Karim.
Meskipun
demikian, dibandingkan dengan Al-Qur’an, sebagian sunnah adalah bersifat
operasional, karena fungsi utama Sunnah Nabi Muhammad SAW adalah untuk sebagai
penjelas (al-baan) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an
surat al-Nahl ayat 44 Allah SWT menjelaskan:
..... وانزلن اليك الذكر لتبين الناس ما نزل اليهم ولعلهم ولعلهم
يتعكرون. (النحل : 44)
Dan kami turunkan kepada engkau al-dzikr (Al-Qur’an) supaya engkau
menjelaskan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka,
mudah-mudahan mereka berpikir.
Secara
garis besar, fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu:
1.
Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat di dalam Al-Qur’an,
yakni yang disebut dengan fungsi bayan taqrir , dalam hal ini sunnah
datang dengan keterangan atau perintah yang sejalan dengan kandungan ayat Al-Qur’an,
bahkan persis sama, baik dari segi keumumannya (mujamal) maupun
perinciannya (tafshil). Seperti, keterangan Rasul SAW mengenai kewajiban
shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya, yang termuat di dalam hadis beliau:
بني الاسلام علي خمس شهادة ان لا اله هلا الله و ان محمدارسول الله,
واقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت من اسطاع اليه سبيلا.
Dibangun
islam atas lima (fondasi), yaitu: kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat,
berpuasa bulan ramadan, dan menunaikan haji bagi yang mampu.
Hadis
ini berfungsi untuk menegaskan kembali (mentaqrir) ayat-ayat berikut:
واقم الصلوة واتوا الزكوة ........ (البقرة : 83)
Dan tegakkanlah olehmu shalat dan bayarlah zakat…..
يايها الذين امنواكتب عليكم الصيم... (البقرة : 183)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa …….
... ولله علي الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا ........
… Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah ….
Dengan
kata lain, sunnah dalam hal ini hanya mengungkapkan kembali apa yang telah
dimuat dan terdapat dalam Al-Qur’an, tanpa menambah atau menjelaskan apa yang
termuat di dalam ayat-ayat tersebut.
2.
Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang datang secara mujamal,
‘am, dan muthlaq. Seperti, penjelasan rasul SAW tentang tata cara
pelaksanaan shalat: jumlah rakaatnya, waktu-waktunya. Demikian juga penjelasan
beliau tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji, zakat, dan lainnya. Dalam hal
ini sunnah berfungsi sebagai penafsir terhadap Al-Qur’an dapat dibagi kepada tiga
bentuk, yaitu:
a.
Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat yang mujamal (yang
bersifat global).
Contohnya,
seperti penjelasan hadis Nabi SAW tentang tatacara pelaksanaan shalat:
بوَصَلّوا كما رأيتموني أصلّي ........
… Dan shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat aku shalat ….
Secara fi'li (hadis fi’li) Nabi Muhammad SAW mendemonstrasikan
tatacara pelaksanaan shalat di hadapan para sahabat, mulai dari yang
sekecil-kecilnya, seperti kapan dan cara mengangkat tangan ketika takbir,
sampai kepada hal-hal yang harus dilaksanakan dan merupakan rukun dalam
pelaksanaan shalat, seperti membaca surah al-fatihah, sujud, rukuk, serta
jumlah rakaat masing-masing untuk shalat, dan sebagainya.
b.
Mengkhususkan (takhshish) ayat-ayat yang bersifat umum (‘am)
Penjelasan
sunnah terhadap Al-Qur’an, disamping memperinci hukum yang bersifat global
(mujamal), juga ada yang bersifat tkhshish, yaitu mengkhususkan keumuman
ayat, seperti penjelasan rasul SAW tentang ayat:
يوصيكم الله في أولادكم للذكر شل حظّ الاشيين....... (النساء: 11)
Allah
mewasiatkan kepadaMu tentang anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan. (Q.S
An-Nisa’: 11)
Ayat
di atas adalah sifat umum, yaitu menjelaskan adanya kewarisan seriap anak
terhadap orangtuanya, kemudian sunnah mengkhususkannya, diantaranya bahwa
keturunan rasul (anak-anaknya) tidak mewarisi, sebagaimana yang dijelaskan
beliau di dalam sabdanya:
نحن معاشر الانبياء لانورث ما تركناه صدقة. (رواه البغاري)
Kami,
seluruhnya para Nabi, tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. (H.R Bukhari).
Demikian
juga pengkhususan terhadap anak yang membunuh orangtuanya, maka dia tidak
memperoleh warisan dari ayahnya yang terbunuh.
غن ابي هريره رضي الله عنه أنّ رسول الله صلّي الله عليه وسلم قال:
القاتل لايرث. (رواه ابن ماجه)
Dari
Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda, “pembunuh tidak mewarisi”. (H.R Ibn Majah)
c.
Memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
bersifat muthaq. Umpamanya, hadis Nabi SAW yang memberikan penjelasan tentang
batasan untuk melakukan pemotongan tangan pencuri, yang di dalam Al-Qur’an
disebutkan secara muthaz, yaitu:
والسارق والسارقة فاقكعوا أيد يهم .... (الماءدة: 38)
Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya ….. (Q.S Al-Maidah: 38)
Ayat
tersebut masih bersifat mutahq, yaitu belum diterangkan tentang batasan yang
jelas dari tangan yang akan dipotong dalam pelaksanaan potongan tangan tersebut.
Maka Sunnah Nabi SAW datang menjelaskan batasan (taqyid) yaitu bahwa yang
dipotong itu adalah hingga pergelangan tangan saja.
3.
Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an, yang
disebut dengan bayan tasyri’. Hal yang demikian adalah, seperti ketetapan rasul
sa tentang haramnya mengumpulkan (menjadikan istri sekaligus) antara seorang
wanita degan makciknya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis beliau:
لاَتَنْكَحُ الْمَرْأَةُ علي عمتها ولا علي خاليها ولا ابنة أختها ولا
ابنة أخيها .
Tidak
boleh dinikahi seorang perempuan bersama (menjadikan istri sekaligus) dengan
makcik (saudara perempuan ayah)-nya, dan tidak juga dengan bibi (saudara
perempuan ibu)-nya, dan tidak degan anak perempuan saudaranya atau anak
perempuan saudara laki-lakinya.
Ketentuan
yang terdapat di dalam hadis di atas tidak ada di dalam Al-Qur’an. Ketentuan
yang ada hanyalah larangan terhadap suami memadu istrinya dengan saudara
perempuan sang istri, sebagai mana yang telah disebutkan dalam firman Allah SWT:
... وأن تجمعوا بين الاختين الا ماقد سلف .... واحل لكم ما
وراءذالكم ...... (النساء : 24-23)
…(Diharamkan atas kamu)
menghimpun (dalam perkawinan) dua orang perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau;…..Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian. (Q.S An-Nisa’:
23-24)
Demikian
juga dengan keberadaan sunnah Nabi yang menetapkan haramnya himar ahliyyah,
binatang buas, dan penetapan beberapa diyat.
Terhadap
fungsi sunnah yang pertama dan kedua ulama telah sepakat. Namun, terhadap
fungsinya yang ketiga, yaitu fungsi tasyri’ (penetapan hukum yang tidak diatur
sama sekali oleh Al-Qur’an), para ulama berpendapat: pertama, ada yang melihat
sebagai hukum yang secara permulaan ditetapkan oleh sunnah; dan kedua, ada yang
melihatnya sebagaimana hukum yang asalnya tetap dari Al-Qur’an
Dalam
hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa rasul SAW dapat saja membuat hukum
tambahan yang tidak diatur oleh Al-Qur’an. Dalam konteks inilah umat islam
dituntut untuk taat kepada Allah SWT. Imam Syafi’i pernah menyatakan bahwa dia
tidak mengetahui adanya ulama yang berbeda pendapat tentang fungsi sunnah
(hadis), termasuk di dalamnya fungsi membuat hukum tambahan (hukum baru) yang
tidak diatur oleh Al-Qur’an.
Para
ulama tidak menerima fungsi ketiga dari sunnah seperti yang disebutkan di atas,
memahami bahwa keseluruhan hukum yang ditetapkan rasul SAW itu adalah dalam
rangka menjelaskan dan menjabarkan Al-Qur’an. Umpamanya, penetapan tentang
keharaman menikahi wanita sekaligus dengan bibinya, bukanlah merupakan hukum
yang secara mandiri ditetapkan oleh rasul SAW, tetapi merupakan qiyas terhadap
larangan Allah untuk mengawini dua orang wanita bersaudara sekaligus seperti
yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 23.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fungsi
sunnah terhadap Al-Qur’an ada beberapa macam sah satunya adalah:
1.
Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat di dalam
Al-Qur’an, yang sering disebut dengan fungsi bayan taqrir.
2.
Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang datang secara
mujmal dan muthlaq.
3.
Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an.
B.
Saran
Demikianlah
makalah ini, semoga bermanfaat. Namun saya sebagai pembuat makalah mohon kritik
san saran. Atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih.
Comments
Post a Comment