Untuk versi word, klik di sini
BAB
I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Paradoks Zeno adalah sebuah pernyataan dari Zeno yang berbeda dengan
pendapat orang lain pada umumnya, namun meskipun berbeda hebatnya dia bisa
menjelaskan dan mempertahankan argumennya sehingga ditetapkan paradoksnya di
dalam sejarah metematika. Paradoknya yang paling terkenal adalah tentang lomba
lari antara Archilles dengan kura-kura. Apabila dalam kejadian yang serupa dan
terus menerus diulangi maka hasilnya akan tetap sama. Dan adapun hasilnya
adalah kemenangan tetap di miliki oleh kura-kura.
Secara umum pasti orang mengatakan bahwa kura-kura sangat lambat
jika di adu untuk berlari namun berbeda halnya dengan yang satu ini, kura-kura
menang menurut paradoks Zeno. Hal ini dikarenakan Archilles menyuruh kura-kura
duluan berlari dan setelah kura-kura di titik 1 km baru Archilles mulai
berlari. Setelah hampir menuju finish yang berjarak 2 km dari titik start
akhirnya kemenangan jatuh kepada kura-kura. Hal ini merupakan salah satu yang
mempengaruhi perkembangan pola fikir manusia dalam berhitung pada masa itu.
b. Rumusan masalah
1.
Apa itu
paradok Zeno?
2.
Kenapa
paradoks Zeno dijadikan sebagai pemisah antara cara berhitung pada masa sebelum
dan sesudahnya?
3.
Apa
manfaat dari paradoks Zeno?
4.
Bagaimana
cara berhitung pada masa sebelum paradoks Zeno?
5.
Bagaimana
cara berhitung pada masa sesudah paradoks Zeno?
c. Tujuan
1.
Agar kita
paradoks Zeno
2.
Agar kita
mengetahui manfaat dari sejarah paradoks zeno.
3.
Mengetahui
car berhitung baik sebelum maupun sesudah paradoks Zeno.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengenalan Tentang Zeno
Zeno dikenal banyak orang karena namanya tercantum pada halaman
pertama buku Parmenides karangan Plato. Diperkirakan bahwa saat itu Zeno
berumur 40 tahun, sedang Socrates masih remaja, kisaran usia 20 tahun. Dengan
mengetahui bahwa Socrates lahir pada 469 SM, maka diperkirakan Zeno lahir pada
tahun 490 SM. Disinyalir bahwa Zeno mempunyai hubungan “khusus” dengan
Parmenides. Catatan Plato menyebutkan adanya gosip bahwa mereka saling jatuh
cinta saat Zeno masih muda, dan tulisan Zeno tentang paradoks digunakan untuk
melindungi filsafat Parmenides dari para pengkritiknya. Semua catatan itu tidak
pernah ada dan cerita itu dituturkan oleh tangan kedua. Tulisan Aristoteles
yang terdapat pada Simplicius - terbit ribuan tahun setelah Zeno - digunakan
sebagai acuan.
Zeno dari Elea, lahir pada awal mulainya perang Persia – konflik
antara Timur dan Barat. Yunani dapat menaklukkan Persia, tapi semua filsuf
Yunani tidak pernah berhasil menaklukkan Zeno. Zeno mengemukakan 6 paradoks,
teka-teki yang tidak dapat dipecahkan oleh logika filsuf terkemuka Yunani saat
itu. Paradoks yang dilontarkan Zeno membingungkan semua filsuf Yunani, namun
tidak seorang pun dapat menemukan kesalahan pada logika Zeno. Paradoks ini
menjadi sangat termasyur karena terus “mengganggu” pemikiran para
matematikawan; dan baru dapat dipecahkan hampir 2000 tahun kemudian. Dari enam
paradoksnya, yang paling terkenal, adalah paradoks lomba lari Achilles dan
kura-kura.
B. Paradoks Zeno
Ada 4 paradoks Zeno yang terkenal, meskipun yang paling terkenal
adalah paradoks kedua, perlombaan lari Archilles dan kura-kura.
1.
Dikotomi
Paradoks ini dikenal sebagai “dikotomi” karena selalu terjadi
pengulangan pembagian menjadi dua. Gerak adalah tidak dimungkinkan, sebab
apapun yang terjadi gerak harus mencapai (titik) tengah terlebih dahulu sebelum
mencapai (titik) akhir; tapi sebelum mencapai titik tengah terlebih dahulu
mencapai seperempat dan seterusnya, suatu ketakterhinggaan. Jadi, gerak tidak
akan pernah ada bahkan pada saat untuk memulainya.
2.
Perlombaan
lari Achilles dan kura-kura
Achilles - kesatria pada perang Troya, mitologi Yunani, berlomba
lari dengan kura-kura, tetapi Achilles tidak dapat mengalahkan kura-kura yang
berjalan lebih dahulu. Untuk memudahkan penjelasan, maka diberikan ilustrasi
dengan menggunakan angka pada paradoks ini.
Bayangkan: Achilles berlari dengan kecepatan 1 meter per detik,
sedangkan kura-kura selalu berjalan dengan kecepatan setengahnya, ½ meter per
detik, namun kura-kura mengawali perlombaan dari ½ jarak yang akan ditempuh
(misal: jarak tempuh perlombaan 2 km, maka titik awal/start kura-kura berada
pada posisi 1 km, sedang Archilles pada titik 0 km). Kura-kura berjalan begitu
Achilles mencapai tempatnya. Begitu Achilles mencapai posisi 1 km, kura-kura
berada pada posisi 1,5 km; Achilles mencapai posisi 1,5 km, kura-kura mencapai
posisi 1,75; Achilles mencapai posisi 1,75 km, kura-kura mencapai posisi 1,875
km. Pertanyaannya adalah kapan Achilles dapat menyusul kura-kura?.
3.
Anak
panah
Anak panah bergerak (karena dilepaskan dari busur) pada waktu
tertentu, diam maupun tidak diam. Apabila waktu tidak dapat dibagi, panah tidak
akan bergerak. Apabila waktu kemudian dibagi. Tetapi waktu juga tersusun dari
setiap (satuan) saat. Jadi panah tidak dapat bergerak pada suatu saat tertentu,
tidak dapat bergerak pula pada waktu. Oleh karena itu anak panah selalu diam.
4.
Stadion
Paradoks tentang gerakan urutan orang duduk di dalam stadion. Urutan
[AAAA] yang diam diperbandingkan dengan urutan bergerak pada tempat duduk
stadion dari dua arah yang berlawanan, [BBBB]: urutan orang yang bergerak ke
kiri dan [CCCC]: urutan orang duduk yang bergerak ke kanan.
Paradoks tentang
stadion ini dapat digambarkan sbb.:
AAAA: urutan
berhenti
BBBB: urutan
bergerak ke kiri
CCCC: urutan
bergerak ke kanan
Semuanya bergerak
dengan kecepatan tetap/sama.
Posisi I Posisi II
A A A A A A A A
B B B B B B B B
C C C C C C C C
Posisi I:
Urutan duduk AAAA,
BBBB dan CCC terletak rapi, baris dan kolom sama. Gerakan dimulai, dengan
kecepatan sama, urutan BBBB dan urutan CCCC bergerak. Urutan B paling kiri
melewati 2 orang: C paling kiri dan A paling kiri. Jarak B paling kiri dengan C
paling kiri adalah 2 kali jarak B paling kiri dengan A paling kiri, dengan
waktu yang sama.
Zeno
mempertanyakan mengapa dengan waktu yang sama dan kecepatan sama ada perbedaan
jarak yang ditempuh?
C. Pemecahan Modern
Semua orang tahu bahwa dalam dunia nyata, Achilles pasti dapat
menyusul kura-kura, namun dari argumen Zeno, Achilles tidak akan pernah dapat
menyusul kura-kura. Para filsuf jaman itu pun tidak mampu membuktikan paradoks
tersebut, walaupun mereka tahu bahwa kesimpulan akhirnya adalah salah.
“Senjata” filsuf hanya logika, dan deduksi tidaklah berguna dalam kasus ini.
Semua langkah tampaknya masuk akal, dan jika semua prosedur sudah dijalani,
bagaimana kesimpulan yang didapat ternyata salah.
Mereka terperangah dengan problem tersebut, tetapi tidak memahami
akar permasalahan: ketakterhingga (infinite). Hal ini sama dapat terjadi
apabila anda membagi sebuah mata uang menjadi 1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32, 1/64
dan seterusnya sampai tidak terhingga tetapi hasilnya akhirnya jelas, yaitu:
tetap 1 mata uang. Matematikawan modern menyebut fenomena ini dengan istilah
limit; angka 1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32, 1/64, 1/128 dan seterusnya mendekati
angka 0 sebagai titik akhir (limit).
Angka berurutan dengan pola tertentu sampai tidak mempunyai batas
akhir; mereka makin kecil dan bertambah kecil sampai tidak dapat dibedakan
lagi. Orang Yunani tidak mampu menangani ketakterhinggaan. Mereka berpikir
keras tentang konsep kosong (void) tetapi menolak (angka) 0 sebagai angka. Hal
ini pula yang membuat mereka pernah dapat menemukan kalkulus.
D. Dua paradoks tambahan
Tidak puas dengan
empat paradoks yang dilontarkan. Zeno menambahkan dua paradoks lain yang tidak
kalah rumitnya.
1.
Paradoks
tentang tempat
Paradoks ini cukup singkat, sehingga Zeno sulit menjelaskannya.
Secara garis besar dapat disederhanakan sbb.: keberadaan segala sesuatu benda
(misal: batu) adalah suatu tempat tertentu (misal: meja), sedangkan tempat
tertentu itupun (meja) memerlukan suatu tempat (misal: rumah) dan seterusnya
sampai ketakterhinggaan.
2.
Paradoks
tentang bulir gandum
Apabila anda
menjatuhkan sebuah karung berisi gandum yang belum dikupas kulitnya akan
terdengar suara keras; tetapi suara itu adalah akibat gesekan bulir-bulir
gandum dalam karung; akibatnya setiap bagian dari bulir-bulir gandum
menimbulkan suara saat jatuh ke tanah. Kemudian pertimbangkanlah menjatuhkan
setiap bagian dari bulir gandum itu; kita semua tahu bahwa tidak ada suara yang
terdengar.
E. Berhitung Sebelum Paradoks Zeno
Jika kita meneliti atau menela’ah cara berhitung pada zaman sebelum
paradoks Zeno dan pada zaman sesudahnya maka kita akan menemukan bagaimana cara
orang-orang berhitung pada zaman tersebut baik sebelum maupun sesudahnya.
Perhitungan di sini tentunya memiliki perbedaan yang begitu nyata sehingga
sejak munculnya paradoks Zeno ini langsung dijadikan sebagai pembatas antara
pengetahuan berhitung sebelum dan sesudahnya.
Sebelum munculnya paradoks zeno berhitung sangat praktis karena
mereka cukup mengikuti cara memecahkan persoalan sesuai dengan yang diajarkan
oleh para ahli berhitung yang ada sebelum mereka. Pada masa sebelum paradoks Zeno
ini persoalan yang diberikan biasanya tidak rumit dan dapat diselesaikan oleh
kalangan masyarakat.
Adapun contoh soal yang dibuat pada masa sebelum paradoks zeno ini
seperti “Berapakah jumlah roti yang harus dibagikan kepada dua orang sehingga
orang pertama mendapat bagian roti lebih banyak daripada orang kedua apabila
orang kedua itu diberikan roti sebanyak sekian”. Atau soal yang lain misalnya
“Berapakah luas persegi apabila persegi itu memiliki sisi sekian”. Seperti
inilah gambaran soal yang diberikan kepada mereka pada zaman sebelum paradoks
zeno ini.
Untuk menjawab pertanyaan
yang diberikan, mereka tidak perlu mencari dan menjelaskan cara
menyelesaikan atau cara mereka mendapatkan kenapa jawabannya seperti demikian
yang terpenting adalah mereka bisa menjawab dengan benar tidak mau tau apakah
cara mereka salah atau benar dalam mencari jawaban karena yang dibutuhkan saat
itu adalah jawaban yang benar bukan cara menjawab.
F. Berhitung Sesudah Paradoks Zeno
Sesudah paradoks zeno soal-soal berhitung mulai bertambah dengan
bentuk yang menunjukkan corak yang berbeda dengan sebelumnya. Paling sedikit
ada dua buah cara yang menunjukkan perbedaan dengan cara sebelumnya. Pertama,
dalam menyelesaikan soal perhitungan mereka mulai dituntut untuk memberikan
alasan mengapa mereka menjawab seperti itu, sehingga mereka harus memahami
konsep perhitungan dengan benar untuk mendapatkan jawaban yang benar. Disini
mereka harus lebih ekstra dalam menyelesaikan perhitungan serta tidak boleh
lari dari dalil-dalil yang telah dipelajari sebelumnya yakni dalil-dalil yang
telah dibuktikan kebenarannya.
Kedua, pada zaman paradoks zeno atau pada zaman sesudahnya tidak
saja berhitung itu menampilkan soal-soal praktis melainkan menampilkan
soal-soal yang berkenaan dengan unsur dasar pengetahuan berhitung itu sendiri,
yakni bilangan. Pada peristiwa pelari yang menempuh jarak lari tertentu tidak
saja dikemukakan soal berapa lama pelari itu bisa menempuh jarak yang
ditentukan. Namun juga di permasalahkan atau dipersoalkan berapa kecepatan
pelari itu agar dapat menempuh jarak yang ditentukan. apabila data yang
diperlukan sudah diketahui maka akan ada persoalan berikutnya yaitu bagaimana
mungkin pelari itu dapat mencapai tujuannya. Orang umum pasti langsung berpikir
bahwa pelari itu pasti dapat mencapai tujuannya. Pernyataan inilah yang harus
dibuktikan secara demonstratif.
Jika disini kita menggunakan paradoks zeno sebagai batas antara dua
corak berhitung sebelum dan sesudahnya maka itu bukan berarti bahwa paradoks
zeno itulah yang menimbulkan peralihan.
Paradoks zeno hanyalah sebagai cerminan antara cara berpikir orang-orang
sebelumnya dan orang-orang sesudahnya.
Kemajuan ilmu pengetahuan berhitung berkembang karena banyak sekali
disiplin ilmu yang membutuhkan perhitungan. Misalnya Anaximander telah
mengemukakan pikiran tentang apeiron sehingga membawa masalah ketakterhinggaan kedalam
pikiran manusia, Pythagoras telah mengaitkan bilangan degan besaran-besaran,
Anaxagoras telah mengemukakan pikiran tentang bibit yang tak hingga banyaknya
sehingga bersama Democritus menampilkan pengertian atom yang menjadi satuan
dasar dalam berbagai besaran, dan Parmenides telah mengemukakan pengertian
ketunggalan alam atau monoisme sera pengertian keberseteruan kontinum. Hal ini
semua menjadikan mereka mempelajari ilmu berhitung dengan lebih mendalam.
BAB III
PENUTUP
a.
Simpulan
Zeno merupakan seseorang yang dijadikan menjadi batasan tentang pola
fikir orang yang hidup sebelumnya atau sesudahnya. Zeno memiliki 6 paradoks
yaitu Dikhotomi, Perlombaan lari antara Achiles dan kura-kura, anak panah,
stadion, paradoks tentang tempat, dan
paradoks tentang bulir gandum.
Berhitung sebelum munculnya paradoks zeno cenderung lebih praktis
sedangkan sesudah itu lebih bercorak teoritis.
Dan bersama itu kita mengenal dua jenis bahan berhitung yang berkembang
pada zaman sebelum dan sesudah paradoks zeno yang masing-masing dapat saja
diungkapkan secara praktis atau secara teoritis. Pertama adalah berhitung
tentang jumlah sesuatu dan kedua adalah berhitung tentang ukuran dan bentuk
sesuatu. Dalam masalah berhitung tentang jumlah sesuatu ini kemudian berkembang
menjadi aljabar.
b.
Saran
Turuslah cari sejarah tentang matematika agar kita dapat mengambil
pelajaran lah cari sejarah tentang matematika agar kita dapat mengambil
pelajaran yang terkandung di dalamnya. Karena jika kita tidak mau mencari
sejarah sesuatu namun kita mempelajari ujungnya saja maka kita tidak akan
pernah tau kegunaan ilmu yang kita pelajari atau sedikit sekali kita tau
manfaat dari pelajaran yang kita pelajari.
DAFTAR PUSTAKA
S. Naga Dali.”Berhitung Sejarah dan Perkembangannya”. PT
Gramedia Jakarta. Jakarta:1980
http://matemathishocolate.blogspot.com/2010/12/sejarah-berhitung-dan-perkembangannya.html
http://www.engineeringtown.com/kids/
http://nteney-njio.blogspot.com/2012/07/sejarah-berhitung.html
Comments
Post a Comment